Teater Untuk Pendidikan
Teater Shodiq
Garis
Besar Manfaat Teater
Konsep
kehidupan dapat kita pelajari dengan belajar bermain teater. Penempatan Sutradara
sebagai pengatur segala sesuatu mengenai pementasan selayaknya Tuhan yang
mengatur kehidupan. Keaktoran yang tidak muncul secara instant dan harus
melalui belajar panjang mengenai dasar-dasar keaktoran, sangat sama seperti
manusia yang harus belajar bagaimana kita harus merasa, bergerak, berucap dan
menempatkan Tuhan sebagai pokok segala hal. Juga mengenai artistik yang dapat
diimplementasikan untuk kita bisa menghargai alam sekitar dan menempatkan diri
kita dimanapun berada. Karena dunia adalah panggung, kita manusia adalah pemain
atau aktornya, sedang Tuhanlah sang Sutradara. “Belajar teater sama dengan
belajar hidup” kata Mbah Tohir Srimulat yang juga aktifis teater.
Wajah
Pendidikan Kita
Berbicara pendidikan, siapapun tentu setuju jika
pendidikan adalah fondamen kehidupan. Akan tetapi keluarga, sekolah, dan
peserta didik itu sendiri sering kali salah dalam mengartikan pendidikan.
Orang tua
menyekolahkan dan mendidik anak agar menjadi anak yang pintar, dapat meraih
cita-cita, dan memperoleh pekerjaan yang menjajikan ketika ia sudah dewasa,
memberi hadiah dan menyanjung anak jika juara kelas. Kemudian di sekolah atau
kampus lebih menitikberatkan pendidikannya kearah akademik, mengarahkan dan
mencetak siswa atau mahasiswanya agar siap bekerja. Bahkan miris, banyak oknum
pendidik yang menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang pencari penghasilan, hanya
mengejar sertifikasi atau jadi PNS, memperbanyak jam mengajar, datang,
menyampaikan materi, pelajaran habis, selesai, dapat honor. Sedangkan para
peserta didik hanya beranggapan berangkat ke sekolah atau kampus hanya untuk
formalitas kehidupan, atau hanya mengejar nilai baik, ada juga yang lebih
lumayan, mereka mengejar ijazah untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk
kehidupannya kelak.
Seorang
Anhar Gonggong (Sejarawan Nasional) dalam sebuah Seminar Budaya pun pernah
berkata “Pendidikan kita saat ini mendidik para siswa dan mahasiswa menjadi
orang-orang yang berpikiran cetek
lulus, dapat ijazah, bekerja, selesai. Lalu bagaimana nasib bangsa ini jika
para generasi penerus ketika menuntut ilmu hanya berorientasi pada pekerjaan
yang layak”.
Begitu
setidaknya fenomena yang terjadi di pendidikan kita.
Berkaca
Kepada Keadaan Negeri
Seperti
bom waktu yang siap meledak dan menghancurkan apa saja kapanpun juga. Atau
seperti kanker serviks yang tidak terlihat gejala-gejalanya, dan hanya baru
dapat diketahui ketika si penderita sudah sampai pada titik kritis.
Begitu mungkin
untuk menggambarkan keadaan negeri ini. Sistem yang terjadi di segala hal
berjalan rancu tanpa disadari dan dideteksi, hanya dapat diketahui ketika
korupsi, kolusi, nepotisme terjadi di semua lapisan masyarakat. Pejabat,
petugas keamanan, penindak hukum, sampai petani. Hanya dapat diketahui bahwa sistem
itu rancu ketika kekerasan atau tawuran juga terjadi di kalangan mulai anak SD
sampai orang-orang yang disebut dewan terhormat. Anak SD berkelahi dengan
temannya karena mereka melihat kakak mereka di SMP atau SMA adu jotos dengan
sesama pelajar dari sekolah lain. Siswa yang di SMP atau SMA pun terobsesi oleh
yang sudah disebut maha dari siswa juga mengedepankan otot dari pada otak
mereka dengan tawuran dengan mahasiswa lain antar fakultas, antar kampus, atau
antar organisasi. Mereka juga mencontoh apa yang dilakukan orang-orang di atas
mereka, Polisi, TNI, DPR, saling bunuh dan pukul sehingga orang-orang di
kampung pun merasa sah jika mereka bentrok untuk menyelesaikan masalah dengan
antar kampung, agama, ras, atau suku lain. Dan baru bisa dideteksi jika ada sistem
yang kacau setelah tindakan amoral dan asusila sudah merajalela.
Siapa
yang Salah?
Ketika krisis moral, akhlak, dan etika telah terjadi
kita sering mendengar orang-orang berkata ini semua terjadi karena globalisasi
dan perkembangan jaman yang memudahkan semua orang dari kecil hingga dewasa
untuk mengakses informasi. Teknologi yang menjadi kambing hitam. Sedangkan
apakah dunia ini harus tetap seperti berabad-abad yang lalu?.
Bukan
hendak menyalahkan pendidikan, tapi mari kita melihat realita yang terjadi. Mulai
Playgroup hingga di Universitas merupakan tujuan utama masyarakat untuk menimba
pengetahuan di samping banyak pendidikan informal lain seperti pondok pesantren
dan sebagainya, namun masyarakat kebanyakan lebih menggantungkan pendidikan di
tempat formal dibanding di tempat lain. Akan tetapi, sistem yang ada di
pendidikan mulai Playgroup sampai Universitas itu sudahkah seperti yang kita
harapkan?. Lalu, apakah kita yang setiap hari berangkat ke tempat pendidikan
formal sudah memiliki tujuan yang benar?. Jangan-jangan itu hanya formaliatas,
atau hanya biar keren, atau hanya juga untuk mendapat nilai, ijazah, dan
pekerjaan yang menjanjikan kelak?. Dan apakah pembinaan karakter, moral, akhlak
sudah tersentuh oleh semua itu?. Atau sudahkah para orang tua memberi apresiasi
untuk anaknya yang rajin beribadah, suka menolong, menghargai orang, bersikap
jujur, dan bertanggung jawab?.
Tentu
dunia ini harus berkembang, akan tetapi perkembangan itu juga harus diiringi
penguatan karakter, morak, akhlak, dari setiap individu dari segala usia.
Apa
Hubungannya dengan Teater?
Teater
memang bukan budaya asli dari Indonesia, tetapi banyak sekali kebudayaan asli
Indonesia yang termasuk kategori Teater. Karena kata Teater saja berasal dari
Bahasa Yunani kuno Theatron yang berarti tempat pertunjukan. Maka dalam
perkembangannya, teater berarti segala bentuk seni pertunjukan. Di Indonesia
ada ludruk, ketoprak, lenong dan banyak yang lainnya.
Seni
peran yang ada di teater menuntut pelakunya untuk memahami dan mempelajari
segala sesuatu tentang teater mulai dari penyutradaraan, keaktoran, tata
artistik dan lainnya.
Seperti
yang pernah kita bicarakan, konsep penyutradaraan yang sama seperti konsep
aqidah atau ketuhanan membuat kita patuh akan segala sesuatu yang ditetapkan
sutradara. Sutradara memiliki otoritas untuk memilih aktor dan memilih peran
bagi aktor tersebut. Sutradara akan memberikan peran yang kita inginkan jika
kita aktor yang baik untuknya. Sedangkan menjadi aktor yang baik butuh banyak
waktu dan banyak aspek yang harus dipenuhi. Sutradara tidak akan memenuhi apa
yang aktor ingin jika aktor dipandang buruk oleh sang sutradara. Tuhan akan
memberi apa yang menjadi kemauan kita, jika tidak di dunia, maka pasti akan diberikan di
akhirat. Jika di dunia kita tidak pernah
mendapat kebahagiaan atau apa saja yang kita inginkan, dan di akhirat juga kita
tidak mendapatkannya, maka patut kita bertanya, apa kita sudah menjadi aktor
yang baik untuk sang sutradara kehidupan?. Bukan ingin menyamakan Tuhan dengan
makhluk, karena Tuhan memiliki sifat “tidak menyerupai makhluk” akan tetapi
hanya untuk mengiaskan konsep sutradara yang hampir sama dengan konsep
ketuhanan.
Bagaimana
menjadi aktor yang baik?. Seorang aktor tidak bisa terbentuik secara instant,
ada tahap latihan dasar yang harus dilewati. Olah, gerak, vokal dan rasa. Aktor
harus bisa bergerak dengan penuh tujuan, jangan ada gerakan yang tidak
bermakna. Seorang aktor juga harus bisa berucap secara berbeda tergantung siapa
yang diperankannya. Dan yang terpenting aktor harus mampu merasa apa yang
sebenarnya tidak dirasakannya, dan bisa jadi itu adalah perasaan orang lain.
Maka jika semua itu kita ambil menjadi pelajaran, kita sebagai aktor di
panggung dunia akan bisa berperilaku dan melakukan hal-hal yang hanya
bermanfaat saja, tidak mungkin melakukan hal yang sia-sia apalagi merugikan.
Berbicara dengan menempatkan dirinya sebaik mungkin dan tidak akan menyakiti
siapapun juga lawan bicaranya. dan dapat
menghargi perasaan orang lain, juga patuh kepada sang sutradara pastinya.
Artistik
mengajari kita tentang keindahan diri sendiri dan panggung, tentu sudah dapat
difahami bagaimana mestinya kita selalu membuat tubuh dan keindahan alam
sekitar.
Nah,
jika di Playgroup, TK dan SD saat anak-anak butuh pondasi untuk dirinya, di SMP
saat anak sedang dalam masa puber atau peralihan, di SMA sebagai lanjutan masa
puber serta pencarian jati diri dan di Universitas ketika harus mengembangkan
bakat dan karakter diberi pendidikan teater yang sedemikian rupa dan membawanya
secara benar dalam kehidupan, apakah kiranya masih ada orang-orang yang tidak
taqwa kepada Tuhannya?, masih adakah orang yang tidak menghargai orang lain?,
masih adakah orang yang menjadikan bohong, mencuri, menyakiti dan lain-lainnya
sebagai hobi dan hal yang biasa?. “Visi dan misi sekolah atau universitas
mengedepankan SAINS untuk dipelajari, harus diubah. Pendidkan karakter dengan
media teater harus dinomorsatukan, kalau karakter sudah baik apa susahnya
mempelajari SAINS?” menurut Andika Pekerja Teater Nasional dari ISI Jogja.
Kenapa
Harus Teater?
Seorang
anak teater SMA pernah diberi Guru teaternya yang bertindak sebagai sutradara
sebuah peran yang mengharuskan anak itu berpidato di depan umum dalam sebuah
adegan pementasan. Sedangkan sebelumnya di kehidupannya sehari-hari ia memiliki
ketakutan dan ketidak bisaaan ketika harus berbicara di depan umum. Namun
setelah pementasan berakhir, ia tetap bisa berbicara didepan umum seperti pada
adegan pementasan yang telah berakhir dengan baik itu. Ada juga anak yang
diberi peran jahat, pembohong, pembunuh, dan pencuri, namun setelah pentas
berakhir ia tidak menjadi seperti yang baru saja dia perankan.
Ada
juga naskah yang memberi pendidikan dan pelajaran secara langsung tanpa perlu
disampaikan seorang guru lewat lisan kepada murid, disamping manfaat yang dapat
diperoleh ketika proses.
Seorang
guru teater melakukan pendekatan individual, satu-persatu kepada anak didiknya.
Tidak jarang guru teater datang ke rumah murid untuk berbincang dengan wali
murid agar tahu keseharian, prilaku, dan karakter muridnya yang mestinya hal
itu dilakukan hanya untuk mencari peran yang cocok untuk muridnya. Dengan
demikian anak tidak akan canggung untuk menceritakan tentang dirinya dan guru
akan lebih mudah memberi masukan-masukan yang membangun karakternya. Dari
sinilah pembangunan moral, karakter, dan akhlak dapat berjalan lebih baik
dibandingkan para guru pelajaran atau ekstra yang lain yang hanya memenuhi
standart pengajaran secara global tanpa memperhatikan bagaimana satu-persatu
muridnya. Mata pelajaran Aqidah Akhlak pada pendidikan Islam dan Pendididkan
Kewarganegaraan yang digadang-gadang sebagai pendidikan untuk membangun akhlak,
moral, tenggang rasa, tanggung jawab dan sebagainya pun tidak mampu seefektif
teater. Tentu semua itu kembali karena cara pengajaran yang hanya dilakukan di
dalam kelas saja. Guru tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan murid-muridnya
ketika keluar kelas atau sekolah. Begitu juga Guru BP, yang tidak pernah
bersinggungan langsung dengan individu setiap murid kecuali murid itu melanggar
sesuatu. Di sinilah peran teater begitu terlihat dalam pembangunan individu
seseorang karena hanya dengan teater Guru akan tahu langsung praktek,
keseharian, karakter, pola pikir, hingga hal-hal yang paling pribadi dari anak
didiknya.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Menyuntikkan konsep teater dalam
pendidikan, atau secara langsung memberi ekstrakurikuler teater disetiap
jenjang pendidikan. Sebuah acungang jempol untuk sekolah kejuruan atau
universitas yang menjadikan teater sebagai jurusan untuk dipelajari dan itu
sudah banyak sekali kita temukan di kota-kota besar sekaligus bukti bahwa
teater sejajar dengan mata pelajaran lain atau mata kuliah lain yang sangat
layak untuk dipelajari.
Memberi wadah untuk komunitas teater
dalam berkreatifitas atau berinvitasi agar mereka bisa mendapatkan bonus
penghargaan bagi dirinya yang telah memperbaiki karakter dengan belajar bermain
teater.
Dengan begitu teater dapat
mencerdaskan bangsa, mencerdaskan kehidupan, memperbaiki karakter, meningkatkan
kualitas kehidupan dan mewaraskan kegilaan dengan hal yang dianggap gila.”Biar
kita dianggap gila, yang penting kita orang paling waras” begitulah Bang Tony
Broer Dosen Teater ISI Jogja berbicara dalam suatu kesempatan.
Biodata Penulis:
Nama : Ahmad Shodiq
Alamat : Bandungsari Sukodadi Lamongan
Aktifitas : Mahasiswa Teknik Informatika
Semester VI UNISLA,
Pembina Teater RAMU SMA Raudlatul
Muta’allimin Babat,
Aktifis Teater Kabupaten Lamongan.
Ulasan
Catat Ulasan