Naskah Teater Realis Disaster



DISASTER
Oleh: Ahmad Shodiq
Pemain:
1.        Lina
2.        Tatik (Ibunya Lina)
3.        Kartika
4.        Ibu Dewi (Guru)

Setting menunjukkan rumah sederhana, terdapat beberapa kursi, meja makan.
-          Musik mengalun lirih, lampu perlahan menyala focus ke arah meja makan.
Ibu:
(masuk dari luar rumah membawa cucian kotor)
Lina:
(masuk dari kamar, mencari Ibunya hendak bepamitan berangkat sekolah) Ibu, Ibu, aku berangkat.
Ibu:
pagi benar berangkatnya nak?
Lina:
iya Bu biar santai di perjalanan
Ibu:
hm, padahal Ibu ingin bicara sesuatau. Tapi kalau kamu buru-buru..
Lina:
Memang Ibu ingin bicara apa? Tidak apa-apa. Kan ini masih sangat pagi Bu.
Ibu:
(berfikir) ehm…. Bagaimana sekolahmu nak?
Lina:
semua baik-baik saja, Ibu tidak usah terlalu memikirkan itu!
Ibu:
bagaimana Ibu tidak boleh memikirkannya, pekerjaan Ibu hanya buruh cuci pakaian. (berusaha tersenyum) Jangankan untuk biaya sekolah dan uang sakumu, untuk makan kita setiap haripun selalu kurang.
Lina:
Ibu, tidak ada tunggakan pembayaran apapun di sekolah, uang saku juga aku selalu pegang, untuk makan setiap hari asal bisa buat perut kenyang juga kan ada. Jadi Ibu tenang saja, tidak usah khawatir, terlebih untuk urusan biaya sekolahku!!
Ibu:
dari mana bisa seperti itu nak?
Lina:
di sekolah ada beasiswa dan bantuan untuk siswa seperti aku, selain itu aku sering diberi uang oleh orang-orang, mungkin mereka kasihan dengan keadaanku bu (tersenyum)
Ibu:
maafkan Ibu nak.. tapi apakah semua itu cukup?
Lina:
kalau ada kemauan, pasti ada jalan kok Bu.. sejauh ini selalu ada jalan untuk membuat semua itu cukup.
Ibu:
Aku memang Ibu yang tak berguna. Maafkan Ibu nak, maafkan Ibu..
Lina:
Ibu ini bicara apa? Ibu itu orang yang luar biasa, yang bisa menjadi Ibu, ayah, saudara, dan temanku. Ibu jangan lagi khawatir dengan sekolahku, yang penting aku bisa menyelesaikan sekolah sampai lulus, aku ingin sekolah tinggi, sampai sarjana.
Ibu:
amiin, Ibu hanya bisa mendo’akanmu. Ya, karena penghasilan Ibu sebagai buruh cuci pakaian tidak akan mampu berbicara banyak untuk cita-cita mulyamu itu nak..
Lina:
iya bu, do’akan saja!. Ibu sudah makan?
Ibu:
upah cuci baju kemarin sudah Ibu pakai untuk bayar hutang di warung, Ibu malu kalau hutang lagi. Tidak ada apa-apa yang bisa dimasak.
Lina:
(mengeluarkan uang 50.000) kalau begitu ini nanti Ibu pakai untuk beli makanan matang, juga beras dan lauk untuk yang sekiranya cukup untuk makan Ibu sampai malam nanti.
Ibu:
Lalu kamu bagaimana?
Lina:
Aku masih pegang uang, nanti aku makan di kantin sekolah saja.. aku juga nanti akan pulang terlambat, seperti biasa Bu mau mengerjakan Tugas dirumah Teman. aku berangkat dulu Bu, sudah siang…
Ibu:
Iya nak, hati-hati!
Lina:
(bersalaman) mikum (sedikit berlari keluar)
Ibu:
wa’alaikum salam. (berjalan ke pintu keluar) semoga keinginanmu untuk sekolah tinggi itu dapat tercapai. Menjadi orang pintar dan terpelajar, tidak seperti Ibumu yang bodoh ini. Selama ini hanya Ibu yang membesarkanmu, maka buatlah Ibu Lebih bangga kepadamu…
(berjalan ke tumpukan baju, dan melipatnya)
Kartika:
(masuk tanpa permisi, mencari-cari, sedikit marah)
Ibu:
(kaget) anda ini siapa? Masuk rumah orang seenaknya tanpa permisi.
Kartika:
kamu yang bernama Tatik kan?
Ibu:
benar, saya Tatik. Lalu anda ini siapa?
Kartika:
namaku kartika.
Ibu:
apa saya mengenal anda sebelumnya?
Kartika:
Tidak, tapi saya tahu betul siapa kamu. Kamu adalah  istri pertama suamiku.
Ibu:
Maksud anda apa? Siapa suami anda?
Kartika:
Bambang Sujono
Ibu:
oh… anda istri Mas Bambang?, ya, memang begitu, saya adalah mantan istrinya. Lalu ada perlu apa anda datang kemari?
Kartika:
sudah, jangan banyak bicara. Dimana suamiku sekarang?
Ibu:
maksud anda apa? (Sedikit membentak) Saya memang orang miskin. Tapi saya tidak serendah itu!
Kartika:
jangan mengelak!. Sudah hampir setahun suami saya tidak pulang. Selama itu juga aku mencari-cari tentang dirimu. Karena aku yakin suamiku pasti pulang pada mantan istrinya. Yaitu kamu.
Ibu:
(Sedikit tersenyum) jadi tu masalahnya?, berarti dia memang tidak pernah berubah.
Kartika:
maksudmu?
Ibu:
aku memang istri pertamanya, tapi sejak dia meninggalkanku begitu saja 19 tahun yang lalu, demi Tuhan aku tidak pernah dan tidak ingin ketemu dia lagi.
Kartika:
Apa perkataanmu bisa dipercaya?
Ibu:
aku berani bersumpah
Kartika:
benar? Kau tidak sedang berbohong kan? Jadi dia tidak di sini?
Ibu:
demi Tuhan Bu Kartika. Kamu boleh mencarinya ke setiap sudut rumahku yang sempit ini!
Kartika:
(Nampak sedih) jika mas tidak di sini, lalu dimana kamu mas?
Ibu:
dia tidak berubah, main perempuan, gonta-ganti pasangan, itu hobbynya.. dulu bahkan diusia pernikahan kita yang baru satu tahu, dia meninggalkanku begitu saja ketika aku mengandung anaknya.
Kartika:
apa nasib kita akan sama?
Ibu:
semoga tidak, ku do’akan dia cepat kembali padamu. Karena nasibku begitu pahit, jangan sampai ada yang sama merasakannya. (menenangkan)
Kartika:
jika begitu, maafkan aku!
Ibu:
sudahlah, aku faham perasaanmu. Tapi begitulah Bambang Sujono. Aku bahkan tidak sudi dan tidak mau mengingatnya lagi. Hingga anakku sekarang menginjak dewasa, aku tidak pernah menceritakan yang sebenarnya kepadanya. Aku selalu berkata padanya bahwa ayahnya telah mati. Karena aku tidak mau anakku ingin bertemu denagnnya..
Kartika:
ternyata aku juga telah tertipu olehnya. Sekali lagi, aku mohon maaf!. Aku menyesal mengenalnya, aku menyesal membuang banyak waktu untuknya. Aku juga tidak akan lagi berharap dia kembali.
Ibu:
maafkan aku jika perkataanku membuatmu ikut tersakiti dengan turut membencinya.
Kartika:
tidak, aku justru berterima kasih telah kau sadarkan, kau tunjukkan siapa Bambang Sujono sebenarnya.
B.Dewi & Lina:
(masuk)
Lina:
(menangis)
B.Dewi:
Assalamu’alaikum…
Ibu & Kartika:
Wa’alaikumsalam…
Ibu:
(berdiri, penasaran) ada apa ini? (menghampiri B. Dewi) ada apa Bu?
B. Dewi:
(hanya diam, seperti berat mau berkata)
Ibu:
(menghampiri Lina) ada apa nak? Kamu ini kenapa datang sambil menangis?
Lina:
Maafkan aku Bu..
Ibu:
ada apa? Apa yang terjadi?
Lina:
(hanya terus menangis)
B.Dewi:
(menyelah) mohon maaf bu, saya datang kemari berniat mengantar Lina dan sekaligus ingin menyampaikan surat ini (memberikan surat)
Ibu:
(Menerima, takut. Dibuka dengan tergesah-gesah. Dibacaa, agak lama, kaget) dikembalikan ke orang tua?
B.Dewi:
Benar Bu
Ibu:
Maksudnya apa?
B.Dewi:
dikembalikan ke orang tua karena sekolah sudah tidak bersedia mendidik anak Ibu Lagi.denag kata lain, Lina dikeluarkan dari sekolah.
Ibu:
apa salahnya? SPPnya ada yang nunggak? Atau ada pembayaran lain yang kurang? Ibu tenang saja, pasti akan saya carikan dan segera saya bayar. Asal Lina tetap sekolah..
B.Dewi:
Tidak Bu…
Ibu:
lalu…?. Oh, pasti Lina jarang masuk. Itu karena dia malu belum bisa bayar Bu.
B.Dewi:
Tidak Bu,semua biaya pembayaran terbayar lunas. Lina juga sangat rajin masuk sekolah, bahkan dia tergolong anak yang selalu mendapat nilai bagus.
Ibu:
Lalu apa masalahnya?
B.Dewi:
(berfikir) salah satu Guru di sekolah kami pernah melihat Lina di luar rumah tengah malam. Dengan seorang lelaki. Kamipun penasaran, dan kami menyelidikinya, alhasil ternyata…
Ibu:
Mereka Pacaran? Baik aku akan meminta Lina untuk tidak lagi berpacaran, apa lagi sampai larut malam.
B. Dewi:
Tidak. mereka tidak pacaran, lelaki yang kami lihat bersamanya juga Nampak jauh lebih Tua dari Lina.
Ibu:
(Kaget)
B.Dewi:
anak Ibu telah menjadi perempuan penghibur.
Ibu:
tidak, itu tidak mungkin.
B.Dewi:
Itulah kenyataannya bu, Lina menjual dirinya, dan itu sangat mencoreng sekolah kami.
Ibu:
(menghampiri Lina) Lina, katakana pada Ibu bahwa semua ini tidak benar!
Lina:
(masih menangis) maafkan aku Bu… maafkan aku. Yang dikatakan Bu Dewi benar.
Ibu:
(kaget, menangis) Bukankah Ibumu ini sering berkata, boleh kita miskin, asal jangan rendahkan harga diri kita.
Lina:
kenapa Ibu memarahiku? ini semua kulakukan karena aku ingin sekolah
Ibu:
apa gunanya sekolah jika moral bejat seperti itu? (membentak)
Lina:
Bu, Lihat anak-anak seusiaku. Mereka sekolah, tanpa memikirkan apapun selain pelajarannya, termasuk biaya sekolah. Sedang aku?, Ibu bahkan tidak mampu memberiku sekedar uang saku.
Ibu:
tutup mulutmu!
Lina:
kenapa harus aku yang menutup mulut?
Ibu:
Diam!, kau juga telah tega selalu membohongi Ibumu. Setiap hari kau pulang malam, kau bilang belajar kelompok?
Lina:
Lantas apa Ibu ingin mendengar jawaban bahwa aku pulang melacur?
Ibu:
Kau juga telah menjadi anak yang berani pada orangtua yang sendirian membesarkanmu.
Lina:
Tidak, aku hanya berani pada takdir dan keadaan. Dan aku hanya berusaha melawannya.
B.Dewi:
(memisah) hentikan!, Lina, apa yang kau bicarakan? Dia Ibu kandungmu.. hormati dia!
Lina:
Kenapa kau ikut campur urusan keluargaku?
B.Dewi:
Karena aku Gurumu
Lina:
Bukankah aku telah resmi kau keluarkan dari sekolah? Itu berarti kau bukan siapa-siapa lagi.
B.Dewi:
Aku juga seorang Ibu, aku tahu bagaimana perasaan Ibumu.
Lina:
Apa kau tahu bagaimana perasaanku?. Apa kau pernah jadi orang miskin? Apa kau pernah punya keinginan yang sukar untuk diwujudkan?
B.Dewi:
memang tidak seharusnya kau lakukan itu. Kau terlalu ceroboh, dan itu justru menghancurkan harapanmu. Masa depanmu masih panjang dan banyak cara yang seharusnya bisa kau tempuh untuk dapat sekolah.
Lina:
apa? Mengurus beasiswa yang rumit itu?. Atau kerja? Kerja apa yang bisa dilakukan sepulang sekolah hingga malam selain pekerjaanku ini?. Seharusnya apa yang menjadi pekerjaanku itu tidak perlu dipermasalahkan. Asal aku rajin, dapat nilai bagus, dan aku dapat membayar biayanya. Sekarang, keluar dari rumahku. Pergi!
Ibu:
baru tadi pagi aku merasa sangat bangga memiliki putri sepertimu. Tapi sekarang…
Lina:
sekarang apa? Ibu menyesal memiliki Putri sepertiku? Seharusnya aku yang menyesal dilahirkan Ibu miskin sepertimu!
Ibu:
Lina! (ingin menghajar)
Kartika:
(memotong) cukup!, cukup!, Jika pertengkaran ini kalian lanjutkan. Tidak aka nada akhirnya..
Ibu:
mau ditaruh mana mukaku ini nanti? Sudah miskin, tidak punya apa-apa, tidak punya harga diri..
Kartika:
jangan memperdebatkan masa lalu, karena tidak akan mungkin bisa kembali lagi, dan jangan terlalu memikirkan waktu nanti yang belum pasti akan terjadi. Sudahlah, Lina hanya anak yang berobsesi besar dan obsesinya tidak didukung keadaan karena itu dirinya nekat, jadi jangan terlalu melimpahkan semua kesalahan ini pada Lina.
dan, Lina. Ibumu yang mengandungmu dan membesarkanmu dengan keringatnya sendiri selama ini. Jangan durhaka kepada Ibumu nak..
(menerawang) karena Jika diruntut kejadiannya, semua ini karena kelakuan Bambang Sujono.
Lina:
anda ini siapa?
Kartika:
sudah saatnya Lina tahu segalanya Tatik, agar dia tidak menyalahkanmu dan menyalahkan dirinya sendiri.
saya Istri Bambang Sujono, yang ditinggalkan bertahun-tahun lalu. Aku mencarinya di sini, karena kufikir ia pulang ke rumah istri pertamanya. Yaitu Ibumu.
Lina:
Bambang Sujono?
Ibu:
ya, maafkan Ibu yang selama ini membohongimu dengan berkata ayahmu telah mati. Ibu hanya tidak mau mengingatnya lagi karena sakit hati Ibu kepadanya yang telah meninggalkan kita begitu saja saat kau ada di kandungan Ibu.
Lina:
Bambang Sujono adalah ayah kandungku?
Ibu:
ya, benar…
Lina:
Kata Ibu ayahku bernama Cahyo?
Ibu dan Kartika:
Bambang Sujono Cahyo
Lina:
tidak, ini pasti tidak benar… karena aku juga mengenal Bambang Sujono.
Kartika:
kau mengenalnya? dimana?
Lina:
Tapi pasti yang ku kenal itu bukan Bambang Sujono Suamimu yang juga ayahkandungku!
Kartika:
(mengeluarkan foto dari tasnya) inikah Bambang Sujono yang kau kenal.
Lina:
(melihat foto, gemetar) tidak, tidak, tidak. tidaaaaaaaaaaak…….. (menangis histeris)
Kartika:
ada apa?, kenapa kau menangis. kau tahu dimana dia sekarang?
Lina:
ya, aku tahu pasti dimana dia sekarang.
Kartika:
Benarkah? Dimana?
Lina:
Dia ada di sebuah hotel di dekat sini.
Ibu:
Hotel?
Lina:
Ya, semalam aku kencan dengannya, dengan Bambang Sujono, dengan suamimu, dengan ayah kandungku.
Ibu:
Tidak, Tidak, kau pasti berbohong Lina (menangis)
Lina:
(hanya menangis)

-          Lampu perlahan padam, dengan music yang lebih menyayat.

SELESAI

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Naskah Surealis "FAILED"

Naskah Monolog Pendek "Aku Ibumu" A. Shodiq