Gagal Muat Antologi "MENERAWANG KESUCIAN RAMADLAN"
Menerawang Kesucian Ramadlan
Nuansa kesucian dan semarak keagungan ketika harus diurai dengan
deretan kata yang kemudian membangun sebuah kisah pasti tidak akan semudah
bersaksi bahwa Ramadlan adalah benar-benar Bulan Suci, Walau timbul pertanyaan
“Kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannnya melalui kesucianmu?” Kata Gus Mus dalam sebuah puisinya.
Jangankan keagungan, berkah, ampunan dan segala kebaikan yang ada di dalamnya, salah satu cerita kecil saja yang sempat bergulir di antara hari penuh Rahmat, Maghfiroh, dan kebebasan atas panas neraka itupun belum aku temukan. Sedangkan aku harus menulis dan bercerita tentangnya.
“Kau menirukan ucapan Nabi atau kau telah merasakan sendiri kesuciannnya melalui kesucianmu?” Kata Gus Mus dalam sebuah puisinya.
Jangankan keagungan, berkah, ampunan dan segala kebaikan yang ada di dalamnya, salah satu cerita kecil saja yang sempat bergulir di antara hari penuh Rahmat, Maghfiroh, dan kebebasan atas panas neraka itupun belum aku temukan. Sedangkan aku harus menulis dan bercerita tentangnya.
Bulan masih harus berkali-kali berputar untuk membawa kita
menghirup udara Bulan Ramadlan,
“Ya. Ramadlan masih lama”. Gumamku dalam hati ketika hendak kumulai menulis paragraf pembuka sebuah cerita tentang Bulan Suci.
“Rasanya tidak mungkin aku mampu menulisnya”. Aku melanjutkan gumamku sambil memandangi layar laptop yang menunjukkan tampilan Microsoft Word yang halamannya masih belum terisi barang sehuruf, hanya sesekali iseng aku memijat keyboard dan aku hapus kembali.
“Ramadlan”. Kata hatiku yang lantas kutuangkan kuketik di baris paling atas. Kupandangi lama kata itu karena entah kata apa lagi yang harus kuketik menyusul kata itu.
“Ya. Ramadlan masih lama”. Gumamku dalam hati ketika hendak kumulai menulis paragraf pembuka sebuah cerita tentang Bulan Suci.
“Rasanya tidak mungkin aku mampu menulisnya”. Aku melanjutkan gumamku sambil memandangi layar laptop yang menunjukkan tampilan Microsoft Word yang halamannya masih belum terisi barang sehuruf, hanya sesekali iseng aku memijat keyboard dan aku hapus kembali.
“Ramadlan”. Kata hatiku yang lantas kutuangkan kuketik di baris paling atas. Kupandangi lama kata itu karena entah kata apa lagi yang harus kuketik menyusul kata itu.
Cahaya layar laptop membuat mataku lelah, kututup mata untuk
sedikit menyejukkannya kembali. Dalam pandangan gelap kubawa ingatanku melompat
kebelakang, pada Ramadlan yang pernah aku lewati dan terhenti pada masa ketika bermain
petasan menjadi hal yang paling kutunggu saat itu. Bapakku pernah berkata
“petasan itu seperti membakar uang, artinya itu mubadzir, dan petasan sangat membahayakan diri sendiri dan orang lain”. Kata Bapak kepadaku dan beberapa kali diucapkannya ketika ngaji ba’da sholat Ashar. Tentu aku lantas mencubit paha temanku yang duduk disampingku sekaligus mengedip-kedipkan mata memberi isyarat kepada yang lain agar tidak berkata apa-apa karena tentu mereka tahu bahwa sebenarnya aku yang selalu mengajak mereka membeli dan bermain petasan. Ya, bisa dikatakan akulah biang keladi suara-suara bising petasan di desaku. Bapak tentu sering mendapat laporan tentang aku dan petasan, tapi Bapak adalah sosok orang tua yang lebih percaya kepada anaknya, itu menurutku. Terbukti Bapak tidak pernah menegurku. Hingga pada sebuah sore aku mendengar suara Adzan, tapi tidurku enggan kutinggalkan walau suara Adzan Ashar itu begitu keras terdengar, terang saja rumahku tepat menghadap Masjid. Tiba-iba suara keras petasan meledak yang sepertinya dari depan rumahku membangunkanku dari tidur sore yang kemudian disusul dengan suara lirih-lirih Jama’ah Sholat Ashar berdo’a. aku berlari keluar mencari tahu
“siapa yang bermain petasan di dekat Masjid yang sedang ada orang Jama’ah?”, kataku sambil membenarkan sarung dan tidak kutemui sorangpun.
“Bocah kurang ajar, gak punya adab, ada orang Jama’ah Sholat dikagetkan dengan mercon”. Tiba-tiba kudengar suara Pak Modin dari serambi masjid dengan mata melotot dan menunjukku , aku hanya diam bertanya-tanya, Bapak keluar dari dalam rumah
“Kapok”, katanya.
“petasan itu seperti membakar uang, artinya itu mubadzir, dan petasan sangat membahayakan diri sendiri dan orang lain”. Kata Bapak kepadaku dan beberapa kali diucapkannya ketika ngaji ba’da sholat Ashar. Tentu aku lantas mencubit paha temanku yang duduk disampingku sekaligus mengedip-kedipkan mata memberi isyarat kepada yang lain agar tidak berkata apa-apa karena tentu mereka tahu bahwa sebenarnya aku yang selalu mengajak mereka membeli dan bermain petasan. Ya, bisa dikatakan akulah biang keladi suara-suara bising petasan di desaku. Bapak tentu sering mendapat laporan tentang aku dan petasan, tapi Bapak adalah sosok orang tua yang lebih percaya kepada anaknya, itu menurutku. Terbukti Bapak tidak pernah menegurku. Hingga pada sebuah sore aku mendengar suara Adzan, tapi tidurku enggan kutinggalkan walau suara Adzan Ashar itu begitu keras terdengar, terang saja rumahku tepat menghadap Masjid. Tiba-iba suara keras petasan meledak yang sepertinya dari depan rumahku membangunkanku dari tidur sore yang kemudian disusul dengan suara lirih-lirih Jama’ah Sholat Ashar berdo’a. aku berlari keluar mencari tahu
“siapa yang bermain petasan di dekat Masjid yang sedang ada orang Jama’ah?”, kataku sambil membenarkan sarung dan tidak kutemui sorangpun.
“Bocah kurang ajar, gak punya adab, ada orang Jama’ah Sholat dikagetkan dengan mercon”. Tiba-tiba kudengar suara Pak Modin dari serambi masjid dengan mata melotot dan menunjukku , aku hanya diam bertanya-tanya, Bapak keluar dari dalam rumah
“Kapok”, katanya.
***
Kubuka mata dengan senyuman ke alam nyata dan kembali menyadari aku
sedang ada dalam kebingungan untuk sekedar menulis kisah.
“Apa kisah kenakalanku tentang petasan itu yang harus aku tulis?”
“Ramadlan”. Masih kata itu yang tertulis. Ingatanku berjelajah lagi ke saat aku dan teman-teman sebayaku melarang diri sendiri dan orang lain untuk menangis, atau berkata Jancok, Jamput, Jangkrik dan sejenis kata Misuh lain karena menurut keyakinan kami itu dapat membatalkan puasa.
‘apakah kisah itu?”, kukerutkan dahi dan berkata dalam hati.
“Apa kisah kenakalanku tentang petasan itu yang harus aku tulis?”
“Ramadlan”. Masih kata itu yang tertulis. Ingatanku berjelajah lagi ke saat aku dan teman-teman sebayaku melarang diri sendiri dan orang lain untuk menangis, atau berkata Jancok, Jamput, Jangkrik dan sejenis kata Misuh lain karena menurut keyakinan kami itu dapat membatalkan puasa.
‘apakah kisah itu?”, kukerutkan dahi dan berkata dalam hati.
Mungkin kisah saat aku mulai dewasa, aku mengingat betul ketika
tidur tengkurap terasa begitu lebih nikmat bagi seorang lelaki yang berpuasa.
Atau tentang kesadaranku bahwa menahan haus dan lapar jauh lebih mudah dibanding
memuasakan mata, kelamin, hati dan fikiran. Karena sejak kecil aku hanya
diajari Bapak berpuasa untuk menahan haus dan lapar. Mataku tertutup saat
membayangkan dan megingat waktu itu. Dan teringat satu hal lagi tentang
kebiasaanku menghitung berapa kali aku mendengar orang membaca Surat Al-Baqarah
ayat 183 yang menerangkan kewajiban berpuasa, menghitung berapa kali juga aku
mendengar orang mengucap kata “Lailatul Qodar”, dan “Fajar Shodiq”
dalam satu bulan.
“apakah cerita-cerita itu yang harus kutulis?” batinku masih hanya menggerutu.
“apakah cerita-cerita itu yang harus kutulis?” batinku masih hanya menggerutu.
***
“Ayah,
laptopnya tidak dimatikan dulu?” tiba-tiba kudengar suara istriku
menyadarkankan aku kembali. Kubuka mata dan memandanginya.
“Sudah larut, laptopnya dimatikan lalu tidur. Sudah jam dua pagi. Besok kerja” lanjut istriku.
“Sebentar Buk” kataku.
“Sedang nulis apa sih? Sepertinya bingung sekali?” lalu melihat layar laptop.
“Aku ingin menulis kisah tentang Ramadlan, tapi dari tadi cuma dapat kata “Ramadlan” saja, kalau menurut Ibuk Ramadlan itu spesialnya dimana sih? Itupun kalau Ibuk masih mau jawab dan belum ngantuk” aku merayunya untuk membantu berfikir dan begadang.
“Jelas banyak lah yah, Ramdlan itu beda dengan bulan-bulan yang lain. Misalnya, kalau Ramadlan ada istilah “ngabuburit” dan “asmara Subuh”, ingatkan waktu kita belum nikah dulu?”.
“He’em”. Jawabku singkat dan belum puas.
“Terus kalau Ramadlan itu banyak sekali kita temui makanan yang tidak ada di bulan-bulan biasa. Kalau maghrib biasanya makan ya seadanya, kalau Ramadlan semuanya ada. Banyak model baju muslim, muslimah dan hijab baru. Terus, semua barang-barang harganya naik, dan kebutuhan juga lebih banyak”
“Ah, sudahl Buk. Aku tambah pusing”. Kupotong dialognya.
“ada lagi yah, banyak artis yang tiba-tiba berpakaian syar’i, terus penyanyi-penyanyi membuat lagu religi, misalnya JKT empat delapan yang merubah nama jadi JKT empatbelas tigapuluh delapan Hijriyah, atau Julia Perez dengan lagu religi barunya yang berjudul “Belah Ketupat”. Itu yah”.
“aduh, malah ngelantur. Sudah ah ngantuk”. Kataku sambil garuk-garuk kepala.
“ya sudah matikan laptopnya lalu tidur, difikir besok lagi”. Istriku menutup perbincangan dan kembali tidur.
“Sudah larut, laptopnya dimatikan lalu tidur. Sudah jam dua pagi. Besok kerja” lanjut istriku.
“Sebentar Buk” kataku.
“Sedang nulis apa sih? Sepertinya bingung sekali?” lalu melihat layar laptop.
“Aku ingin menulis kisah tentang Ramadlan, tapi dari tadi cuma dapat kata “Ramadlan” saja, kalau menurut Ibuk Ramadlan itu spesialnya dimana sih? Itupun kalau Ibuk masih mau jawab dan belum ngantuk” aku merayunya untuk membantu berfikir dan begadang.
“Jelas banyak lah yah, Ramdlan itu beda dengan bulan-bulan yang lain. Misalnya, kalau Ramadlan ada istilah “ngabuburit” dan “asmara Subuh”, ingatkan waktu kita belum nikah dulu?”.
“He’em”. Jawabku singkat dan belum puas.
“Terus kalau Ramadlan itu banyak sekali kita temui makanan yang tidak ada di bulan-bulan biasa. Kalau maghrib biasanya makan ya seadanya, kalau Ramadlan semuanya ada. Banyak model baju muslim, muslimah dan hijab baru. Terus, semua barang-barang harganya naik, dan kebutuhan juga lebih banyak”
“Ah, sudahl Buk. Aku tambah pusing”. Kupotong dialognya.
“ada lagi yah, banyak artis yang tiba-tiba berpakaian syar’i, terus penyanyi-penyanyi membuat lagu religi, misalnya JKT empat delapan yang merubah nama jadi JKT empatbelas tigapuluh delapan Hijriyah, atau Julia Perez dengan lagu religi barunya yang berjudul “Belah Ketupat”. Itu yah”.
“aduh, malah ngelantur. Sudah ah ngantuk”. Kataku sambil garuk-garuk kepala.
“ya sudah matikan laptopnya lalu tidur, difikir besok lagi”. Istriku menutup perbincangan dan kembali tidur.
Sembari mematikan laptop aku masih penasaran
“mengapa aku tak bisa menemukan sebuah hal yang luar biasa untuk dikisahkan mengenai Ramadlan. Apakah seperti puasanya yang merupakan Ibadah milik Tuhan dan Tuhan sendiri yang berhak mengganjar? Seperti itu jugakah Ramadlan?”. Kututup mata memulai tidur. Tiba-tiba aku terbangun mengingat sebuah kisah luar biasa tentang Ramadlan,
“tapi ini sudah larut, akan kutulis saja besok pagi”. Lalu kupeluk istriku dan aku tertidur.
“mengapa aku tak bisa menemukan sebuah hal yang luar biasa untuk dikisahkan mengenai Ramadlan. Apakah seperti puasanya yang merupakan Ibadah milik Tuhan dan Tuhan sendiri yang berhak mengganjar? Seperti itu jugakah Ramadlan?”. Kututup mata memulai tidur. Tiba-tiba aku terbangun mengingat sebuah kisah luar biasa tentang Ramadlan,
“tapi ini sudah larut, akan kutulis saja besok pagi”. Lalu kupeluk istriku dan aku tertidur.
Ulasan
Catat Ulasan