ES POTONG PAK SOKRAN




Oleh: Ahmad Shodiq

Pagi itu dingin sekali, hujan belum berhenti turun semenjak dini hari. Pukul 05.30 kulakukan kebiasaanku sehari-hari membuka warung kopi pemberian ayahku, warung ini kukelola sendiri semenjak tamat SMA karena dunia kuliah mungkin tidak akan terjangkau dengan keadaan ekonomi dan kemampuan otakku yang terbatas.
Dengan sedikit malas kubuka satu-persatu pintu lantas kutata semua persediaan warung. Mak Asih dengan payung berlebel sebuah bank swasta datang mengantarkan makanan gorengan seperti biasanya, ia janda yang menyambung hidup dengan membuat gorengan yang dijual scara titip di warung-warung dekat rumahnya. “biasanya jam lima sudah buka, kok ini baru buka mas? saya sudah nunggu di depan dari tadi.” katanya. “iya Mak, agak malas cuaca seperti ini, gorengan yang kemarin sudah habis Mak, ini uangnya dua puluh ribu” kataku. “iya mas, terima kasih, saya pamit dulu” jawabnya. “ya Mak, hati-hati”.
Setelah kumakan satu gorengan Mak Asih untuk mengisi perut sebagai energi kubersihkan warung sambil menghisap sebatang rokok yang juga kujual secara eceran. Terdengar suara “kletek-kletek” seperti ada seseorang menaiki sepeda ontel datang. Sambil menggigil dan melepas topinya Pak Sokran masuk warungku, dia adalah pria tua penjual es potong yang biasanya juga setiap pagi menjadi pelangganku. “buatkan kopi mas!” serunya dengan suara terputus-putus kedinginan. “gelas apa cangkir pak?” tanyaku. “Cangkir saja” jawabnya singkat. Kunaikkan teko keatas kompor yang menyala sambil sesekali kunikmati rokokku untuk meredakan dingin. “pagi-pagi turun hujan dan dingin seperti ini Pak Sokran masih jualan es?” tanyaku sambil menuang air yang sudah mendidih kedalam cangkir yang sudah berisi kopi dan gula. “kalau ndak jualan, mau ngapain mas di rumah, anak istriku kuberi makan apa?” ia menjawab sambil mengambil sebuah gorengan Mak Asih lalu dimakannya. “aku saja yang kerja di dalam males pak karena cuaca seperti ini, apalagi Bapak yang selalu keliling dari sekolah satu ke sekolah yang lain, ini pak kopinya” ungkapku lalu aku duduk di samping Pak Sokran. “masih muda kok males?” Pak Sokran berkata sambil tersenyum kecil sembari menuang kopi dari cangkir ketempat untuk membuatnya sedikit dingin. Aku terdiam memikirkan kata-kata Pak Sokran. “minta rokok ecerannya mas” kata Pak Sokran mengagetkanku. Kuberikan kaleng tempat beberapa merk rokok eceran untuknya berikut korek apinya, ia menyeruput kopi lantas menyalakan sebatang rokok, lantas saat itu hanya terdengar suara gemricik air hujan dan beberapa kali sruputan kopi Pak Sokran. “mas, aku ngutang dulu ya” kata Pak Sokran sedikit berbisik sambil membereskan barang-barangnya. “mau berangkat pak? Ini kan masih hujan” kataku. “memangnya kamu tahu kapan hujan akan berhenti?, Ya?, saya ngutang dulu!” jawabnya lalu keluar. “iya pak iya, hati-hati” kataku lalu kubersihkan bekas kopi Pak Sokran.
Setelah Pak Sokran keluar dari warungku pukul enam tepat tadi belum ada satu orang pun yang datang lagi untuk sekedar minum kopi atau teh, rasa malas sejak pagi yang hinggap tadi semakin besar beriringan hujan yang semakin lebat.
Kuhabiskan waktu dengan memutar musik dari memori telepon genggamku lalu sarapan mie instan dan sisa nasi yang diberi Ibu malam tadi, nampaknya pagi ini Ibu tidak akan datang mengantar sarapan karena jarak rumahku juga agak lumayan jauh dari warungku ini.
Semakin siang hujan mulai reda, tak lama kemudian matahari mulai menunjukkan dirinya, sedikit semangat yang datang kupakai untuk tenaga mencuci gelas-gelas dan cangkir yang kotor bekas orang-orang yang datang tadi malam. Setelah usai kukembali ke tempat duduk untuk mencari hiburan lain, kunyalakan televise dan kutengok jam, nampaknya aku cukup lama tadi mencuci gelas, sudah pukul sebelas, dan waktu berjalan lambat membosankan sampai suara adzan Dluhur terdengar, pesimisku mulai datang hari ini mungkin warungku akan sepi, gorengan Mak Asih masih terlihat banyak. “Mas” suara seseorang mengagetkanku. Rupanya Pak Sokran datang dengan wajah yang sumringah. “sudah mau pulang pak?” tanyaku kaget. “iya mas, buatkan es teh ya! Aku haus mas” jawab dan seru Pak Sokran. “Es potongnya sudah habis?” aku menanyainya sambil menyiapkan es teh pesanannya. “Sudah, laris manis mas. Dapat untung banyak ini, makanya mampir lagi kesini untuk membayar hutang” Pak Sokran dengan semangat sambil lagi-lagi memakan Gorengan titipan Mak Asih. “Wah, biasanya tidak seperti ini Pak” kataku. “iya, tadi juga sempat putus asa, semua sekolah sepi, anak-anak mungkin juga males berangkat sekolah, ada juga yang kelihatan beberapa muridnya tapi sudah pulang sekitar pukul Sembilan tadi katanya guru-gurunya jarang yang datang, melihat es yang masih banyak dan nampakya juga masih keras karena cuaca dingin aku keliling saja walau kehujanan. Hingga hujan reda aku sampai di depan kantor kecamatan mas, disitu banyak sekali orang berkumpul berseragam rapi sedang upacara, saya tunggu mereka sampai bubar dan Alhamdulillah setelah mereka upacara langsung menyerbu Es Potong saya, ya saya hargai berbeda dengan harga anak sekolah mas, es potongku habis dan banyak untung aku hari ini”. Terangnya sambil bebahagia. “berarti hari ini berkah untuk Pak Sokran” tanggapku. “memang hari ini hari apa sih mas?” Tanya Pak Sokran kepadaku. “Sabtu Pak” jawabku singkat. “iya, saya juga tahu, maksudnya ada hari besar apa kok banyak orang upacara di lapangan kecamatan” tanggapannya kesal kepadaku. “saya tidak tahu pak”, jawabku malu. “memang tanggal berapa ini?” Pak Sokran kembali bertanya. Kami bersama-sama menengok kalender bergambar sebuah koperasi yang masih menunjukkan bulan April. “sekarang bulan apa Pak?” aku balik bertanya. “bulan Mei mas, kalender kamu itu waktunya dibalik” kata Pak Sokran. Aku bergegas berdiri dan membalik kalenderku ke halaman berikutnya, dan Pak Sokran mendahuluiku berkata “Sekarang tanggal 2 Mei 2015”.
Mantup, Mei 2015
t

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Naskah Teater Realis Disaster

Naskah Surealis "FAILED"

Naskah Monolog Pendek "Aku Ibumu" A. Shodiq